MONOGRAFI IMPIAN
Rojaki, S.Pd.
Lebaran di usianya yang ketiga, ketika aku sedang rebah di atas ranjang menjelang senja. Sekujur tubuhku terasa letih dan lungkrah. Sekelubung wajahku terasa kaku dan tegang, sebab seharian aku dan teman-teman berkeliling dari suatu tempat ke lain tempat, bersilaturahim ke rumah guru-guru sekolah kami dulu, ke kediaman tokoh-tokoh, serta pondokan teman-teman sebaya. Mataku sudah terasa berat dan gelap, seperti sedang berdiri di ambang batas antara tidur dan jaga. Namun, mendadak ada sesuatu yang lain, mendadak dalam dadaku ada sesuatu yang terganggu. Aku merasa teramat trenyuh dan khawatir.
Di dalam benakku, tiba-tiba melintas sesosok teman ketika aku masih duduk di bangku sekolah tingkat atas, dalam kondisi fisiknya yang kurang beruntung. Gambar itu begitu jelas, seperti dipantulkan melalui viuwer menghantam tembok bercat putih yang belum mengelupas. Wajahnya yang lumayan tampan, kecerdasannya di atas rata-rata. Namun, ada sebuah ketidakberuntungan padanya—itupun jika diterimanya tanpa penuh kesabaran, ketabahan, serta rasa syukur—, yaitu panjang kedua kakinya berbeda satu sama lain dan postur tubuhnya yang pendek. Hal itu dengan sendirinya membuat ia berjalan pincang dan orang-orang memasukkannya dalam terminologi yang jamak disebut cacat atau abnormal.
Sontak, bola mataku yang sebelumnya terasa gelap dan mengantuk, menjadi sembab dan basah. Dua tiga tetes jatuh ke pipiku, lantas menggelinding menujah bantal berseprai coklat muda bermotif salur batik. Hatiku, dalam kondisinya yang paling jujur, lantas bertanya apa yang dilakukan oleh temanku dalam kondisinya yang abnormal itu? Apa yang akan ia andalkan untuk mencari kerja, sebab setahuku ia hanya memiliki ijazah SMA.
Sebagai seorang lelaki yang berusia hampir duapuluh lima, sebagaimana lazimnya kebanyakan orang, aku yakin ia sudah berpikir untuk menikah. Ia pasti menginginkan seorang perempuan baik-baik, mungkin juga cantik, serta yang mau memahami dan menerima kondisinya yang serba terbatas itu.
Tapi Tuhan, siapa wanita yang sebaik itu? Siapa wanita yang bisa dengan lapang dada menerima seorang lelaki cacat, dengan kondisi ekonomi yang papa?
Lantas segera aku raih telepon genggam yang tergeletak di samping kanan ranjang. Aku hubungi salah satu sahabatku; para pengurusku ketika aku menjabat ketua OSIS di SMA 1 Negeri Pagelaran, Lampung . Dengan pertanyaan yang teramat singkat dan sederhana, pesan berbunyi “Masih ingat Uki Sugiarto?” terbang ke udara dan menghantam nomor telepon genggam, yang pemiliknya bernama Dwi Marinda.
Lantas pesan balasan masuk ke telepon genggamku. Aku buka, dan jawabannya “ia masih ingat.”. Balasan itu disertai dengan pertanyaan. Nadanya kurang lebih berbunyi; “Memangnya kenapa?”
Dengan pertanyaan yang lebih menohok, aku balas pesan singkat itu; “Kamu pernah berpikir, apa yang ia lakukan dengan kondisinya yang abnormal itu?”
Aku tahu, di seberang sana, ia sedang merekonstruksi ulang wajah dan landskap teman kami yang abnormal itu. Mungkin dia kesulitan, dan aku yakin dia memang kesulitan. Sebab, sejak lulus dari bangku sekolah tingkat atas lima tahun lalu, ia tak pernah bertemu dan atau bersilaturahim ke rumah teman kami yang kurang beruntung itu. Aku maklum, temanku yang satu ini—ketika masih duduk di bangku sekolah— memang agak payah sense of belonging-nya. Ia memang jago pada wilayah-wilayah akademis, tapi payah dalam hubungan sosial-humanis. Mungkin ia sedang dibekap oleh logika berpikir eksakta, logika yang berpikir bahwa rumus dan angka-angka adalah segalanya.
Tapi akhirnya aku senang, sebab akhir-akhir masa kuliah ia sudah mulai berubah. Ia terlihat lebih santun, lebih peduli terhadap orang lain, mau bergaul dan srawung. Ketiganya jika direduksi, menjadi ia kini tampak lebih bersahaja. Dan sungguh di luar dugaan, ia ternyata telah bekerja di sebuah perusahaan asing di bagian human resource depatement. Aku hanya berpikir dalam hati. cukup membagaakan juga ia.
***
SEJAK mengalami ingatan yang mendadak itu, otakku dipenuhi bayangan-bayangan dan konsep-konsep tentang masa depan. Aku jadi menikmati dan melewati hari-hariku di ranjang, untuk melamun, menyusun impian-impian. Aku mencoba mengingat satu persatu teman-teman lamaku. Agak sulit memang, sebab aku sangat pelupa terhadap orang-orang.
Sejauh ini, aku masih bisa mengingat seseorang jika orang itu pertama, jika dia cantik dan menawan. Kedua, jika ia pintar dan berprestasi. Keduanya ini terlepas apakah ia kaya atau miskin, sebab bagiku itu tak penting. Dan yang ketiga, ia menyebalkan. Untuk yang terakhir, menyebalkannya bisa jadi karena banyak faktor. Misal, ia sangat culun dan pelupa. Atau ia orang yang teramat aneh. Untuk kategori ketiga ini aku seringkali memberi julukan kepadanya. Contoh orang-orang dalam kategori ini, yang sudah aku beri nama samaran ialah; Sephia, Primus Rice Cooker, Tokram, dan Buluk Cabe. Itu hanya untuk menyebut contoh parapan yang paling populer. Sebab, sampai saat ini teman-teman masih memanggil anak-anak itu dengan nama samaran yang aku buat. Dan yang payah, tidak sedikit teman-teman yang sampai lupa siapa nama mereka yang sesungguhnya. Nah, Selain ketiga kategori itu aku tak punya alasan untuk mengingat mereka. Jadi, kalau tidak cantik dan menawan, kalau tidak cerdas dan pandai, sekalian menjadilah orang yang menyebalkan. Asal jangan pernah menjadi orang yang biasa-biasa saja. Sebab orang-orang seperti itu teramat mudah untuk terlupakan.
Uki Sugiarto salah seorang temanku yang masih saja teringat. Tokram biasa aku memanggilnya dan kawan-kawan pun demikian memanggil namanya. Ia tak marah dan kami pun cukup terbiasa karena panggilan-panggilan untuk seseorang yang aku kontruksi. Entah mendapat ilham dari mana nama panggilan untukteman-temanku_. Semua begitu saja muncul dan semua kawan menyepakatinya. Tokram, sahabatku yang satu ini yang memiliki perberdaan dengan kawan-kawanku yang lain. Namun, dibalik itu aku idak melihat kekurangannya, tapi pada dirinya memiliki kelebihan yang luar biasa. Ia sosok yang cerdas dan lumayan untuk masalah-masalah hitungan. Kram, semoga kau menemukan kehidupan yang lebih baik, gumamku dalm hati.
***
Pernah pada suatu hari Uki membuat sebuah puisi untuk pujaan hatinya. Aku sempat membacanya waktu itu. Itu aku lakukan tanpa sengaja karena tertinggal di laci mejanya kelas X.3.
“Mengapa aku terpikir akan puisi itu. Sudahlah.”
Sampai saat ini sungguh tidak tahu pasti siapa gerangan gadis yang dihadiahi puisiku oleh Uki. Sesungguhnya aku ingin mecari tahu, tapi akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu intens bertanya, apalagi sejak aku tahu bahwa Uki tidak suka jika ada yang mencoba mengusik kehidupan pribadinya, mungkin tidak begitu rumit berpikir masalah itu jika aku mau bertanya, tapi sungguh aku tipe orang yang menghargai privasi demi lancarnya hubungan pertemanan. Namun, terlepas dari semua itu, aku pasti tahu jika gadis yang dimaksud adalah salah seorang gadis yang luar biasa berarti baginya.
Aku kembali terbayang replika gambar wajah Uki yang menyatu dengan kecepatan tinggi, semuanya berkelebat dalam pikiranku. Hal yang aku lakukan tempo hari seperti de javu hari ini. Di ranjang yang sama pula, hanya seprainya kini berganti dengan warna biru laut bergambar laut. Aku dan Uki bisa dibilang sahabat_ jika kita sepakat untuk mendeskripsikan hubungan pertemanan yang sangat dekat—kami bertemu pertama kali saat mendaftar di Smansa Pagelaran yang kemudian menjadi saksi bisu kisah indah masa-masa SMA dulu. Jika aku diminta menyebutkan sahabat terbaik di antara sahabat-sahabatku, maka aku bisa menyebut nama Uki dengan mantap. Bukan berarti yang lain tidak baik bagiku, semuanya baik bagiku. Namun, entah mengapa, kurasa Uki ada jauh di dalam lubuk hatiku. Betapa tidak, ialah orang yang selalu kumintai pendapat tentang keputusan yang akan kuambil saat aku menjabat sebagai ketua OSIS. Dia jugalah yang kemudian membawaku kembali menatap dunia yang penuh warna. Awalnya memang aku memiliki krisis kepercayaan diri. Selain itu, Uki yang menjadi temanku untuk bercerita masalah-masalahku terkait pelajaran maupun dengan pacarku, Rena.
Aku pernah mendengar seseorang berkata padaku bahwa sesungguhnya kau dapat mengirim telepati untuk orang-orang yang sedang kau pikirkan. Sederhananya begini, jika kau dengan konsentrasi penuh memikirkan seseorang, niscaya ia juga akan memikirkanmu. Mungkinkan hal itu terjadi malam mini? Aku sedang memikirkan Uki tentu saja. Sejurus kemudian, handphoneku memanggilku dengan dering khas moponiknya. Nomor asing yang memanggilku.
“Halo?” sapaku datar.
“Hai sobat. Ini aku temanmu, Uki. Bagaimana kabarmu sekarang ?” Sapa orang di seberang sana.
“Uki?”
“Ya, Uki. Temanmu, alah Tokram, masa kau lupa Teman SMA-mu dulu.”
“Oh hai Uki. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” “Semua baik-baik saja?”
“Tentu. Aku baik-baik saja. Tiba-tiba saja aku teringat padamu. Aku beruntung kau belum mengganti nomor mu.”
“Aku juga memikirkanmu beberapa hari ini. Bekerja dimana sekarang?”
“Aku memutuskan berhenti di perusahan tempatku bekerja yang dulu. Penuh tekanan. Sekarang aku berwirausaha. Kamu sendiri?”
“Aku menjadi guru sekarang. Usaha apa?”
“Akan aku jelaskan nanti. Alamatmu sekarang?”
Aku menyebutkan alamatku. Uki, kau tahu saja aku pasti sudah pindah alamat. Aku jarang menetap terlalu lama di suatu tempat. Aku tipe orang yang selalu ingin mencari suasana baru.
“Baiklah, sampai ketemu nanti.” Kataku di akhir perbincangan yang mengesanan ini.”
Inilah hidup. Hidup adalah misteri yang sulit untuk ditebak. Aku masih saja termenung memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Aku merekontruksi ulang bagaimana sahabatku yang sudah lama tidak bertemu- lima tahun kami tidak bertemu. Dan bagaimana dia sekarang. Apakah ada perubahan pada dirinya. Entahlah aku mulai lelah dan ingin sejenak merebahkan tubuh ini dan memejamkan mata.
Lebaran Idul Fitri di usianya yang kelima. Pagi ini aku sengaja tidak kemana-mana karena rencana Uki akan mengunjungiku sekitar pukul sepuluh pagi ini. Aku sengaja menyibukkan dengan mempersiapkan makanan seadanya bersama ibuku. Ya sayur lodeh dan rempeyek kacang kesukaan keluargaku dan ternyata Uki juga sangat suka makanan yang dibuat ibuku.
Sudah pukul sepuluh pagi, tapi Uki juga belum muncul dari tikungan itu. Sejak tadi mataku terus tertuju pada tikungan di ujung jalan sana. Ya rumahku memang agak sedikit jauh dari jalan besar dan ada jalan yang menikung di ujung sana. Nah itu dia, teriak ibu dari samping rumah. Sontak ku langsung berdiri dan melihat keluar.
“Tokrammmmmmmm?”
“Ukiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii?”
“Asslamualaikum.”, kalimat yang terucap dari Uki sahabatku.
“Walaikum salam”. Kujawab salam Uki dengan suara yang lantang dan senang. Sulit digambarkan memang suasana ini. Uki masuk rumahku dan langsung saja aku persilahkan Uki duduk di tikar yang aku sediakan dengan beberapa kue lebaran yang masih ada.
“Uki tunggu sebentar ya.”
“Silahkan duduk dulu, aku mau mengambilkan kau minum.”
“Terima kasih Rai.”
Suara Uki masih saja teringat olehku. Lugas dan sederhana sekali orang itu. Tidak pernah berubah sejak masa SMA. Itu yang aku kagumi dari kawanku yang satu ini. Aku keluar dengan membawakan minum untuknya. Dia masih saja duduk dan memandangi foto-foto yang terpajang di dinding ruang tamu.
“Uki, kamu ini kemana saja, hampir lima tahun kita tidak pernah berjumpa. Dan baru hari ini kita bertemu.”
“Wah kamu ini lama sekali menghilang?”
“Maafkan aku kawan bukan aku bermaksud melupkanmu, tapi kau juga pasti tau. Sejak lulus SMA dulu aku langsung mencari peruntungan nasib ke Jakarta. Hasilnya ya begitu lah–.”
Uki terus saja menceritakan masa-masa saat ia bekerja di Jakarta dan bagaimana rasanya ia melamar pada perusahaan atau kita sering sebut PT begitu sulitnya ia mencari kerjaan di kota Jakarta. Awalnya ia pergi bersama saudara sepupunya. Namun sepupunya pulang lagi ke kapung setelah uki mendapatkan kontraan. Uki terus mencari kerja dan tidak sedikit yang menolaknya. Akhirnya ia pun mendapat kerjaan. Hanya sebagai pekerja borongan di pabrik garmen di daerah Cilitan, Jakarta Timur. Namun tidak bertahan lama, hanya enam bulan dan ia pulang lagi ke kampung. Setelah di kampung ia terus berpikir dan akhirnya dia memutuskan untuk membuat tempe dan dijual keliling dari kampung satu ke kampung yang lain.
Matahari terus saja merambat dan tidak terasa sudah pukul dua belas.
“Kram kita makan siang dulu saja, nanti kita lanjutkan lagi ngobrol kita.” “Baiklah.” jawabnya singkat.
Aku tahu, Uki masih menyimpan cerita yang sejak tadi ia pendam dan belum sempat terlontar dari mulutnya. Aku pun enggan mengelurkan pertanyaanku padanya. Sangat sederhana memang, tapi aku takut menyinggung perasaannya.
“Ayo yang banyak lho nasinya, kok malu-malu mas Uki ini?” suara ibu memecah keheningan kami.
“Ia Buk, ini sudah banyak. Wah kelihatan mantap sekali sayur lodehnya. palagi ditambah ikan asin bulu ayam yang digoreng kering. Pasti mantap.”
Di meja makan saya masih ingin melanjutkan perbincangan kita yang sempat ter-pending.
“Ki kamu masih ingat gak dengan Rena, pacarku dulu saat kita masih sekolah menengah atas. Lama sekali aku mencarinya, tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Hampir tiga tahun terakhir. Ia telah meninggalkan aku dengan alasan yang tak jelas.
Sontak mata Uki langsung menatap saya dengan tajam. Langsung dia mengambil minum karena keseleg.
“Kamu kenapa Ki? Apa ada yang salah dari pertanyaanku tadi?”
Aku semakin penasaran ada apa sebenarnya dengan Uki. Uki masih saja diam dan tidak menjawab pertanyaanku.
“Ya sudah, kita lanjutkan makannya. Aku liat Uki masih diam mematung, hanya memegangi sedoknya dan masih saja menunduk. Hingga ia membuka bibirnya yang sejak tadi terkatup.
“Rai, maafkan aku sebelumnya” aku sebenarnya aku telah menikah dengan Rena. Setahun yang lalu. Sebenarnya aku dan Rena sudah lama ingin menceritakan tentang pernikahan kami. Rena juga minta maaf sama kamu.”
“Apa? Kau menikah dengan Rena?”
“Ini, bukan mimpi kan?”
“Maafkan aku, ini sebenarnya di luar dugaanku, kalau aku akan menikah dengan Rena. Dua tahun yang lalu saat aku sedang menjual daganganku dengan gerobak dorongku peristiwa yang sangat mengerikan terjadi di depan mataku. Terjadi kecelakan di Jalan Bungur di desa Ngadirejo. Aku langsung saja berlari medekati sosok wanita yang tertabrak oleh kendaraan bermotor. Tabrak lari Rai-. Motor yang menabraknya lansung kabur. Dan tidak tertangkap samapi saat ini. Darah mengalir pada bagian kepala dan kakinya. Dan yang yang lebih mengejutkan aku yang tertabarak adalah adalah Rena. Berbulan-bulan Rena terbaring di rumah sakit. Enam bulan ia mulai bisa berjalan. Setelah ia mulai sembuh dan mulai bisa berjalan ternyata Rena mengajakku untuk menikah. Ia sebenarnya ingin menceritakaan ini padamu. Tapi ia takut dan malu Rai. Ia buta sekarang.”
Tanpa sadar air mata Uki mengalir di pipinya. Aku mendengarkan cerita Uki. Akupun meneteskan air mata. Maafkan aku, yang tadinya berprasangka buruk padamu.
Akupun mulai menerima mengapa Rena menikah dengan sahabatku ini, Uki. Aku bangga dengan sahabatku yang satu ini. Uki sahabat yang akan tetap menjadi sahabat. Selamanya.Uki pun menceritakan siapa gadis yang dibuatkan puisi saat masa SMA dulu. Dia adalah Rena. Kekasihku yang aku cari selama ini. Rena tidak memberikan peluang untuk uki karena dia mempunyai kekasih hati yaitu aku. Dan aku lelaki yang menurutnya setia.
Musi, Agustus 2009
MONOGRAFI IMPIAN
Rojaki, S.Pd.
Sinopsis Cerpen
Cepen ini merupakan cerpen yang sangat berkesan bagi penulis, Rojaki. Cerpen ini mengisahkan kehidupan masa sekolah tingkat atas pada tahun 2002 yang silam. Ini hanya sebuah kenangan yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya. Cerpen ini bergenre remaja dan bertemakan persahabatan. Cerpen yang ditulis di Sekayu ini mengisahkan persahabatan Arai dengan kawannya Uki Sugiarto. Arai yang sekarang telah berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia dan ia mempunyai nasib yang lebih beruntung dibanddingka kawannya yang sangat dekat dengannya, Uki Sugiarto. Uki adalah sahabat yang sangat berarti baginya di masa SMA. Banyak hal yang telah dilakukan bersama dan mereka sudah anggap seperti saudaranya sendiri. Namum, karena nasib yang berkata lain, Uki tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kondisi keluarganya yang papa, pas-pasan. Arai melanjutkan studinya di Yogyakarta dan Uki terpaksa harus mengadu nasib di Jakarta. Uki yang kondisi fisiknya juga tidak seperti yang begitu sempurna. Kakinya panjang sebelah/ pincang dan postur tubuhnya yang kecil, tapi aku sebagai tidak memandang Uki aneh. Dia anaknya pintar, cerdas dan mudah untuk diajak bercanda. Uki adalah sahabatku yang menurutku paling baik.
Setelah lulus dari sekolah tingkat atas kami tidak pernah bertemu kembali. Hampir lima tahun kami tidak bertemu. Dia menghilang tanpa jejak dan akupun tidak tahu kabarnya. Aku dulu sempat mencarinya, tapi kata tetangganya Uki dan keluarga pidah rumah karena rumah yang ia tinggali telah dijual. Aku tidak tahu pasti Uki pidah ke desa mana atau ke kota barang kali. Suatu malam aku membayangkan bagaimana Uki sekarang? Apakah dia sudah menikah? Dan siapa wanita yang akan menerimanya apa adanya dengan kondisi seperti itu? Aku yakin Uki akan mendapatkan pasangannya karena tuhan pasti menciptakan hambanya untuk berpasang-pasangan. Aku bertemu Uki dan yang sangat mengejutkan Uki telah menikah dengan Rena, kekasihku yang aku cari selama ini. Meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas.
MONOGRAFI IMPIAN
Rojaki, S.Pd.
L
ebaran di usianya yang ketiga, ketika aku sedang rebah di atas ranjang menjelang senja. Sekujur tubuhku terasa letih dan lungkrah. Sekelubung wajahku terasa kaku dan tegang, sebab seharian aku dan teman-teman berkeliling dari suatu tempat ke lain tempat, bersilaturahim ke rumah guru-guru sekolah kami dulu, ke kediaman tokoh-tokoh, serta pondokan teman-teman sebaya. Mataku sudah terasa berat dan gelap, seperti sedang berdiri di ambang batas antara tidur dan jaga. Namun, mendadak ada sesuatu yang lain, mendadak dalam dadaku ada sesuatu yang terganggu. Aku merasa teramat trenyuh dan khawatir.
Di dalam benakku, tiba-tiba melintas sesosok teman ketika aku masih duduk di bangku sekolah tingkat atas, dalam kondisi fisiknya yang kurang beruntung. Gambar itu begitu jelas, seperti dipantulkan melalui viuwer menghantam tembok bercat putih yang belum mengelupas. Wajahnya yang lumayan tampan, kecerdasannya di atas rata-rata. Namun, ada sebuah ketidakberuntungan padanya—itupun jika diterimanya tanpa penuh kesabaran, ketabahan, serta rasa syukur—, yaitu panjang kedua kakinya berbeda satu sama lain dan postur tubuhnya yang pendek. Hal itu dengan sendirinya membuat ia berjalan pincang dan orang-orang memasukkannya dalam terminologi yang jamak disebut cacat atau abnormal.
Sontak, bola mataku yang sebelumnya terasa gelap dan mengantuk, menjadi sembab dan basah. Dua tiga tetes jatuh ke pipiku, lantas menggelinding menujah bantal berseprai coklat muda bermotif salur batik. Hatiku, dalam kondisinya yang paling jujur, lantas bertanya apa yang dilakukan oleh temanku dalam kondisinya yang abnormal itu? Apa yang akan ia andalkan untuk mencari kerja, sebab setahuku ia hanya memiliki ijazah SMA.
Sebagai seorang lelaki yang berusia hampir duapuluh lima, sebagaimana lazimnya kebanyakan orang, aku yakin ia sudah berpikir untuk menikah. Ia pasti menginginkan seorang perempuan baik-baik, mungkin juga cantik, serta yang mau memahami dan menerima kondisinya yang serba terbatas itu.
Tapi Tuhan, siapa wanita yang sebaik itu? Siapa wanita yang bisa dengan lapang dada menerima seorang lelaki cacat, dengan kondisi ekonomi yang papa?
Lantas segera aku raih telepon genggam yang tergeletak di samping kanan ranjang. Aku hubungi salah satu sahabatku; para pengurusku ketika aku menjabat ketua OSIS di SMA 1 Negeri Pagelaran, Lampung . Dengan pertanyaan yang teramat singkat dan sederhana, pesan berbunyi “Masih ingat Uki Sugiarto?” terbang ke udara dan menghantam nomor telepon genggam, yang pemiliknya bernama Dwi Marinda.
Lantas pesan balasan masuk ke telepon genggamku. Aku buka, dan jawabannya “ia masih ingat.”. Balasan itu disertai dengan pertanyaan. Nadanya kurang lebih berbunyi; “Memangnya kenapa?”
Dengan pertanyaan yang lebih menohok, aku balas pesan singkat itu; “Kamu pernah berpikir, apa yang ia lakukan dengan kondisinya yang abnormal itu?”
Aku tahu, di seberang sana, ia sedang merekonstruksi ulang wajah dan landskap teman kami yang abnormal itu. Mungkin dia kesulitan, dan aku yakin dia memang kesulitan. Sebab, sejak lulus dari bangku sekolah tingkat atas lima tahun lalu, ia tak pernah bertemu dan atau bersilaturahim ke rumah teman kami yang kurang beruntung itu. Aku maklum, temanku yang satu ini—ketika masih duduk di bangku sekolah— memang agak payah sense of belonging-nya. Ia memang jago pada wilayah-wilayah akademis, tapi payah dalam hubungan sosial-humanis. Mungkin ia sedang dibekap oleh logika berpikir eksakta, logika yang berpikir bahwa rumus dan angka-angka adalah segalanya.
Tapi akhirnya aku senang, sebab akhir-akhir masa kuliah ia sudah mulai berubah. Ia terlihat lebih santun, lebih peduli terhadap orang lain, mau bergaul dan srawung. Ketiganya jika direduksi, menjadi ia kini tampak lebih bersahaja. Dan sungguh di luar dugaan, ia ternyata telah bekerja di sebuah perusahaan asing di bagian human resource depatement. Aku hanya berpikir dalam hati. cukup membagaakan juga ia.
***
SEJAK mengalami ingatan yang mendadak itu, otakku dipenuhi bayangan-bayangan dan konsep-konsep tentang masa depan. Aku jadi menikmati dan melewati hari-hariku di ranjang, untuk melamun, menyusun impian-impian. Aku mencoba mengingat satu persatu teman-teman lamaku. Agak sulit memang, sebab aku sangat pelupa terhadap orang-orang.
Sejauh ini, aku masih bisa mengingat seseorang jika orang itu pertama, jika dia cantik dan menawan. Kedua, jika ia pintar dan berprestasi. Keduanya ini terlepas apakah ia kaya atau miskin, sebab bagiku itu tak penting. Dan yang ketiga, ia menyebalkan. Untuk yang terakhir, menyebalkannya bisa jadi karena banyak faktor. Misal, ia sangat culun dan pelupa. Atau ia orang yang teramat aneh. Untuk kategori ketiga ini aku seringkali memberi julukan kepadanya. Contoh orang-orang dalam kategori ini, yang sudah aku beri nama samaran ialah; Sephia, Primus Rice Cooker, Tokram, dan Buluk Cabe. Itu hanya untuk menyebut contoh parapan yang paling populer. Sebab, sampai saat ini teman-teman masih memanggil anak-anak itu dengan nama samaran yang aku buat. Dan yang payah, tidak sedikit teman-teman yang sampai lupa siapa nama mereka yang sesungguhnya. Nah, Selain ketiga kategori itu aku tak punya alasan untuk mengingat mereka. Jadi, kalau tidak cantik dan menawan, kalau tidak cerdas dan pandai, sekalian menjadilah orang yang menyebalkan. Asal jangan pernah menjadi orang yang biasa-biasa saja. Sebab orang-orang seperti itu teramat mudah untuk terlupakan.
Uki Sugiarto salah seorang temanku yang masih saja teringat. Tokram biasa aku memanggilnya dan kawan-kawan pun demikian memanggil namanya. Ia tak marah dan kami pun cukup terbiasa karena panggilan-panggilan untuk seseorang yang aku kontruksi. Entah mendapat ilham dari mana nama panggilan untukteman-temanku_. Semua begitu saja muncul dan semua kawan menyepakatinya. Tokram, sahabatku yang satu ini yang memiliki perberdaan dengan kawan-kawanku yang lain. Namun, dibalik itu aku idak melihat kekurangannya, tapi pada dirinya memiliki kelebihan yang luar biasa. Ia sosok yang cerdas dan lumayan untuk masalah-masalah hitungan. Kram, semoga kau menemukan kehidupan yang lebih baik, gumamku dalm hati.
***
Pernah pada suatu hari Uki membuat sebuah puisi untuk pujaan hatinya. Aku sempat membacanya waktu itu. Itu aku lakukan tanpa sengaja karena tertinggal di laci mejanya kelas X.3.
“Mengapa aku terpikir akan puisi itu. Sudahlah.”
Sampai saat ini sungguh tidak tahu pasti siapa gerangan gadis yang dihadiahi puisiku oleh Uki. Sesungguhnya aku ingin mecari tahu, tapi akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu intens bertanya, apalagi sejak aku tahu bahwa Uki tidak suka jika ada yang mencoba mengusik kehidupan pribadinya, mungkin tidak begitu rumit berpikir masalah itu jika aku mau bertanya, tapi sungguh aku tipe orang yang menghargai privasi demi lancarnya hubungan pertemanan. Namun, terlepas dari semua itu, aku pasti tahu jika gadis yang dimaksud adalah salah seorang gadis yang luar biasa berarti baginya.
Aku kembali terbayang replika gambar wajah Uki yang menyatu dengan kecepatan tinggi, semuanya berkelebat dalam pikiranku. Hal yang aku lakukan tempo hari seperti de javu hari ini. Di ranjang yang sama pula, hanya seprainya kini berganti dengan warna biru laut bergambar laut. Aku dan Uki bisa dibilang sahabat_ jika kita sepakat untuk mendeskripsikan hubungan pertemanan yang sangat dekat—kami bertemu pertama kali saat mendaftar di Smansa Pagelaran yang kemudian menjadi saksi bisu kisah indah masa-masa SMA dulu. Jika aku diminta menyebutkan sahabat terbaik di antara sahabat-sahabatku, maka aku bisa menyebut nama Uki dengan mantap. Bukan berarti yang lain tidak baik bagiku, semuanya baik bagiku. Namun, entah mengapa, kurasa Uki ada jauh di dalam lubuk hatiku. Betapa tidak, ialah orang yang selalu kumintai pendapat tentang keputusan yang akan kuambil saat aku menjabat sebagai ketua OSIS. Dia jugalah yang kemudian membawaku kembali menatap dunia yang penuh warna. Awalnya memang aku memiliki krisis kepercayaan diri. Selain itu, Uki yang menjadi temanku untuk bercerita masalah-masalahku terkait pelajaran maupun dengan pacarku, Rena.
Aku pernah mendengar seseorang berkata padaku bahwa sesungguhnya kau dapat mengirim telepati untuk orang-orang yang sedang kau pikirkan. Sederhananya begini, jika kau dengan konsentrasi penuh memikirkan seseorang, niscaya ia juga akan memikirkanmu. Mungkinkan hal itu terjadi malam mini? Aku sedang memikirkan Uki tentu saja. Sejurus kemudian, handphoneku memanggilku dengan dering khas moponiknya. Nomor asing yang memanggilku.
“Halo?” sapaku datar.
“Hai sobat. Ini aku temanmu, Uki. Bagaimana kabarmu sekarang ?” Sapa orang di seberang sana.
“Uki?”
“Ya, Uki. Temanmu, alah Tokram, masa kau lupa Teman SMA-mu dulu.”
“Oh hai Uki. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” “Semua baik-baik saja?”
“Tentu. Aku baik-baik saja. Tiba-tiba saja aku teringat padamu. Aku beruntung kau belum mengganti nomor mu.”
“Aku juga memikirkanmu beberapa hari ini. Bekerja dimana sekarang?”
“Aku memutuskan berhenti di perusahan tempatku bekerja yang dulu. Penuh tekanan. Sekarang aku berwirausaha. Kamu sendiri?”
“Aku menjadi guru sekarang. Usaha apa?”
“Akan aku jelaskan nanti. Alamatmu sekarang?”
Aku menyebutkan alamatku. Uki, kau tahu saja aku pasti sudah pindah alamat. Aku jarang menetap terlalu lama di suatu tempat. Aku tipe orang yang selalu ingin mencari suasana baru.
“Baiklah, sampai ketemu nanti.” Kataku di akhir perbincangan yang mengesanan ini.”
Inilah hidup. Hidup adalah misteri yang sulit untuk ditebak. Aku masih saja termenung memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Aku merekontruksi ulang bagaimana sahabatku yang sudah lama tidak bertemu- lima tahun kami tidak bertemu. Dan bagaimana dia sekarang. Apakah ada perubahan pada dirinya. Entahlah aku mulai lelah dan ingin sejenak merebahkan tubuh ini dan memejamkan mata.
Lebaran Idul Fitri di usianya yang kelima. Pagi ini aku sengaja tidak kemana-mana karena rencana Uki akan mengunjungiku sekitar pukul sepuluh pagi ini. Aku sengaja menyibukkan dengan mempersiapkan makanan seadanya bersama ibuku. Ya sayur lodeh dan rempeyek kacang kesukaan keluargaku dan ternyata Uki juga sangat suka makanan yang dibuat ibuku.
Sudah pukul sepuluh pagi, tapi Uki juga belum muncul dari tikungan itu. Sejak tadi mataku terus tertuju pada tikungan di ujung jalan sana. Ya rumahku memang agak sedikit jauh dari jalan besar dan ada jalan yang menikung di ujung sana. Nah itu dia, teriak ibu dari samping rumah. Sontak ku langsung berdiri dan melihat keluar.
“Tokrammmmmmmm?”
“Ukiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii?”
“Asslamualaikum.”, kalimat yang terucap dari Uki sahabatku.
“Walaikum salam”. Kujawab salam Uki dengan suara yang lantang dan senang. Sulit digambarkan memang suasana ini. Uki masuk rumahku dan langsung saja aku persilahkan Uki duduk di tikar yang aku sediakan dengan beberapa kue lebaran yang masih ada.
“Uki tunggu sebentar ya.”
“Silahkan duduk dulu, aku mau mengambilkan kau minum.”
“Terima kasih Rai.”
Suara Uki masih saja teringat olehku. Lugas dan sederhana sekali orang itu. Tidak pernah berubah sejak masa SMA. Itu yang aku kagumi dari kawanku yang satu ini. Aku keluar dengan membawakan minum untuknya. Dia masih saja duduk dan memandangi foto-foto yang terpajang di dinding ruang tamu.
“Uki, kamu ini kemana saja, hampir lima tahun kita tidak pernah berjumpa. Dan baru hari ini kita bertemu.”
“Wah kamu ini lama sekali menghilang?”
“Maafkan aku kawan bukan aku bermaksud melupkanmu, tapi kau juga pasti tau. Sejak lulus SMA dulu aku langsung mencari peruntungan nasib ke Jakarta. Hasilnya ya begitu lah–.”
Uki terus saja menceritakan masa-masa saat ia bekerja di Jakarta dan bagaimana rasanya ia melamar pada perusahaan atau kita sering sebut PT begitu sulitnya ia mencari kerjaan di kota Jakarta. Awalnya ia pergi bersama saudara sepupunya. Namun sepupunya pulang lagi ke kapung setelah uki mendapatkan kontraan. Uki terus mencari kerja dan tidak sedikit yang menolaknya. Akhirnya ia pun mendapat kerjaan. Hanya sebagai pekerja borongan di pabrik garmen di daerah Cilitan, Jakarta Timur. Namun tidak bertahan lama, hanya enam bulan dan ia pulang lagi ke kampung. Setelah di kampung ia terus berpikir dan akhirnya dia memutuskan untuk membuat tempe dan dijual keliling dari kampung satu ke kampung yang lain.
Matahari terus saja merambat dan tidak terasa sudah pukul dua belas.
“Kram kita makan siang dulu saja, nanti kita lanjutkan lagi ngobrol kita.” “Baiklah.” jawabnya singkat.
Aku tahu, Uki masih menyimpan cerita yang sejak tadi ia pendam dan belum sempat terlontar dari mulutnya. Aku pun enggan mengelurkan pertanyaanku padanya. Sangat sederhana memang, tapi aku takut menyinggung perasaannya.
“Ayo yang banyak lho nasinya, kok malu-malu mas Uki ini?” suara ibu memecah keheningan kami.
“Ia Buk, ini sudah banyak. Wah kelihatan mantap sekali sayur lodehnya. palagi ditambah ikan asin bulu ayam yang digoreng kering. Pasti mantap.”
Di meja makan saya masih ingin melanjutkan perbincangan kita yang sempat ter-pending.
“Ki kamu masih ingat gak dengan Rena, pacarku dulu saat kita masih sekolah menengah atas. Lama sekali aku mencarinya, tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Hampir tiga tahun terakhir. Ia telah meninggalkan aku dengan alasan yang tak jelas.
Sontak mata Uki langsung menatap saya dengan tajam. Langsung dia mengambil minum karena keseleg.
“Kamu kenapa Ki? Apa ada yang salah dari pertanyaanku tadi?”
Aku semakin penasaran ada apa sebenarnya dengan Uki. Uki masih saja diam dan tidak menjawab pertanyaanku.
“Ya sudah, kita lanjutkan makannya. Aku liat Uki masih diam mematung, hanya memegangi sedoknya dan masih saja menunduk. Hingga ia membuka bibirnya yang sejak tadi terkatup.
“Rai, maafkan aku sebelumnya” aku sebenarnya aku telah menikah dengan Rena. Setahun yang lalu. Sebenarnya aku dan Rena sudah lama ingin menceritakan tentang pernikahan kami. Rena juga minta maaf sama kamu.”
“Apa? Kau menikah dengan Rena?”
“Ini, bukan mimpi kan?”
“Maafkan aku, ini sebenarnya di luar dugaanku, kalau aku akan menikah dengan Rena. Dua tahun yang lalu saat aku sedang menjual daganganku dengan gerobak dorongku peristiwa yang sangat mengerikan terjadi di depan mataku. Terjadi kecelakan di Jalan Bungur di desa Ngadirejo. Aku langsung saja berlari medekati sosok wanita yang tertabrak oleh kendaraan bermotor. Tabrak lari Rai-. Motor yang menabraknya lansung kabur. Dan tidak tertangkap samapi saat ini. Darah mengalir pada bagian kepala dan kakinya. Dan yang yang lebih mengejutkan aku yang tertabarak adalah adalah Rena. Berbulan-bulan Rena terbaring di rumah sakit. Enam bulan ia mulai bisa berjalan. Setelah ia mulai sembuh dan mulai bisa berjalan ternyata Rena mengajakku untuk menikah. Ia sebenarnya ingin menceritakaan ini padamu. Tapi ia takut dan malu Rai. Ia buta sekarang.”
Tanpa sadar air mata Uki mengalir di pipinya. Aku mendengarkan cerita Uki. Akupun meneteskan air mata. Maafkan aku, yang tadinya berprasangka buruk padamu.
Akupun mulai menerima mengapa Rena menikah dengan sahabatku ini, Uki. Aku bangga dengan sahabatku yang satu ini. Uki sahabat yang akan tetap menjadi sahabat. Selamanya.Uki pun menceritakan siapa gadis yang dibuatkan puisi saat masa SMA dulu. Dia adalah Rena. Kekasihku yang aku cari selama ini. Rena tidak memberikan peluang untuk uki karena dia mempunyai kekasih hati yaitu aku. Dan aku lelaki yang menurutnya setia.
Musi, Agustus 2009
MONOGRAFI IMPIAN
Rojaki, S.Pd.
Sinopsis Cerpen
Cepen ini merupakan cerpen yang sangat berkesan bagi penulis, Rojaki. Cerpen ini mengisahkan kehidupan masa sekolah tingkat atas pada tahun 2002 yang silam. Ini hanya sebuah kenangan yang akan menjadi sejarah dalam hidupnya. Cerpen ini bergenre remaja dan bertemakan persahabatan. Cerpen yang ditulis di Sekayu ini mengisahkan persahabatan Arai dengan kawannya Uki Sugiarto. Arai yang sekarang telah berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia dan ia mempunyai nasib yang lebih beruntung dibanddingka kawannya yang sangat dekat dengannya, Uki Sugiarto. Uki adalah sahabat yang sangat berarti baginya di masa SMA. Banyak hal yang telah dilakukan bersama dan mereka sudah anggap seperti saudaranya sendiri. Namum, karena nasib yang berkata lain, Uki tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kondisi keluarganya yang papa, pas-pasan. Arai melanjutkan studinya di Yogyakarta dan Uki terpaksa harus mengadu nasib di Jakarta. Uki yang kondisi fisiknya juga tidak seperti yang begitu sempurna. Kakinya panjang sebelah/ pincang dan postur tubuhnya yang kecil, tapi aku sebagai tidak memandang Uki aneh. Dia anaknya pintar, cerdas dan mudah untuk diajak bercanda. Uki adalah sahabatku yang menurutku paling baik.
Setelah lulus dari sekolah tingkat atas kami tidak pernah bertemu kembali. Hampir lima tahun kami tidak bertemu. Dia menghilang tanpa jejak dan akupun tidak tahu kabarnya. Aku dulu sempat mencarinya, tapi kata tetangganya Uki dan keluarga pidah rumah karena rumah yang ia tinggali telah dijual. Aku tidak tahu pasti Uki pidah ke desa mana atau ke kota barang kali. Suatu malam aku membayangkan bagaimana Uki sekarang? Apakah dia sudah menikah? Dan siapa wanita yang akan menerimanya apa adanya dengan kondisi seperti itu? Aku yakin Uki akan mendapatkan pasangannya karena tuhan pasti menciptakan hambanya untuk berpasang-pasangan. Aku bertemu Uki dan yang sangat mengejutkan Uki telah menikah dengan Rena, kekasihku yang aku cari selama ini. Meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas.