“Sekitar beberapa minggu yang lalu dikabarkan terjadi tawuran antar pelajar SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta adalah tawuran pelajar yang paling tragis”.[3]
Fenomena di atas mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita karena sudah sangat banyak orang yang menjadi korban dari tawuran pelajar ini, baik dari kalangan masyarakat, sekolah, pemerintah, bahkan pelajar itu sendiri.
Banyak kerusakan yang disebabkan oleh tawuran ini, seperti hancurnya rumah masyarakat, kendaraan pribadi dan umum, bahkan fasilitas umum yang ada disekitar lokasi tawuran tersebut.
Sudah banyak sekali kasus tawuran yang terjadi di Indonesia, data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.[4] 229 kasus tawuran yang terjadi sepanjang Januari hingga Oktober 2013. Jumlah ini hanya yang diketahui dan belum ditambah dengan jumlah pelajar yang terluka dan dirawat di rumah sakit akibat kekerasan antar sesama pelajar.[5]
Berdasarkan data tersebutlah yang menyebabkan penulis tertarik untuk mengungkapkan misteri di balik tawuran antar pelajar ini, sebenarnya apa penyebab yang membuat para pelajar tersebut melakukan tawuran? Apakah ada faktor lain yang mendorong mereka untuk melakukan tawuran tersebut?
Berbicara masalah penyebab, ada begitu banyak penyebab terjadinya tawuran antar pelajar ini, salah satu nya ialah karena negara Indonesia ini sendiri, seperti yang kita ketahui, pada tahun 1998 terjadi aksi demo besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menjatuhkan Bapak Soeharto dari tahtanya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Dalam aksi demo tersebut terdapat banyak sekali tindak kekerasan, sehingga menyebabkan tertanamnya dalam diri pelajar-pelajar Indonesia bahwa tindak kekerasan adalah hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.
Tetapi jelas bukan itu saja yang menyebabkan terjadinya tawuran, seperti layaknya sebuah bom yang siap meledak dan hanya memerlukan sedikit pemicu agar bom tersebut meledak, seperti itulah pelajar Indonesia saat ini. Pemicu tersebut adalah seperti saling megejek satu sama lain, terjadi kesalahpahaman atau bahkan masalah percintaan yang tak jarang menjadi pemicu aksi tawuran. Semua itu semakin diperkuat dengan banyaknya keragaman budaya, bahasa, agama, dan ras di Indonesia.
Faktor lainnya adalah lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini. Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan, pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan karakter yang nyaman dan aman (caring community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi.
Baiklah, yang pertama adalah lemahnya kepemimpinan atau minimnya tanggung jawab. Tradisi tawuran di SMA yang sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari, sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.
Mengapa terjadi terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah, maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Pendekatan ritual, yang menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih, tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat, bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.
Yang kedua adalah lemahnya kultur sekolah. Selain unsur kepemimpinan, pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu, prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat berangkat atau pulang sekolah.
Perasaan aman dan nyaman akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda. Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.
Kultur sekolah ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100 persen.
Menghargai individu sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praktik keadilan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan diri palsu di luar, termasuk tawuran.
Yang ketiga yaitu tidak hadirnya negara dalam menanggapi tawuran ini. Fenomena tawuran menjadi indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan suatu tindak kejahatan dilakukan bersama-sama.
Ketika aparat kepolisian hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai, dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas, seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum. .[6]
Adapun adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya tawuran ini adalah karena adanya pihak yang menjadi propokator dari tawuran ini, yang menghasud dua belah pihak agar berkelahi satu sama lain, entah propokator itu berasal dari sekolah itu sendiri atau dari luar sekolah yang menyebabkan tawuran antar pelajar ini.
Dan faktor lainnya ialah karena kedua pihak yang berselisih ini merasa bahwa merekalah yang paling hebat dan mereka membuktikannya dengan cara berkelahi satu sama lain.
Lalu apakah solusi yang terbaik yang dapat ditawarkan agar tawuran pelajar ini dapat terus berkurang dan akhirnya tak ada lagi tawuran antarpelajar di Indonesia?
Terkait tawuran antarpelajar ada beberapa cara yang dapat disarankan penulis untuk mengatasi banyaknya tawuran antarpelajar ini, yaitu untuk para orangtua berikanlah kasih sayang yang cukup bagi anak-anak kalian, agar mereka tidak terasa bahwa dirinya kesepian dan melarikan diri mereka kearah yang negatif. Banyak sekali anak-anak muda tepatnya pelajar yang kekurangan kasih sayang orangtua mereka, sehingga mereka memilih bersenang-senang dengan teman-teman mereka demi mendapatkan perhatian dan mendapatkan kesenangan yang tidak dapat mereka dapatkan dari orangtuanya.
Untuk pihak sekolah, sebaiknya melakukan peengawasan yang ketat untuk murid-muridnya agar tidak membawa senjata-senjata yang berbahaya dan selalu memberikan nasihat kepada mereka setiap saat tentang bahaya dari tawuran baik untuk masyarakat umum maupun untuk masa depan mereka sendiri.
Pemerintah sangat berperan penting dalam terwujudnya pelajar Indonesia yang taat aturan dan pelajar tanpa tawuran. Karena pemerintah dapat memberlakukan UU yang memberikan sanksi keras bagi pelajar yang melakukan tawuran, tetapi tidak hanya itu pemerintah juga harus melakukan penyuluhan kepada sekolah, pelajar, orangtua dan masyarakat agar mereka mengetahui bahwa tawuran itu adalah perbuatan yang tercela dan dapat menghancurkan masa depan pelajar dan masa depan bangsa ini yang sangat tergantung pada generasi muda saat ini yang akan menjadi penerus pembangun bangsa ini. Masyarakat pun sebaiknya jangan melakukan tindakan yang berlebihan seperti kekerasan dibalas kekerasan karena itu hanya akan membuat perpecahan, oleh karena itu masyarakat sebaiknya bersabar dan menyerahkan urusan ini pada pihak yang berwenang agar terciptanya keamanan dan ketentraman.
Dan terkhusus untuk pelajar itu sendiri, mereka harus diberikan penyuluhan secara berkala agar tidak melakukan tawuran dan menjauhi sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan, dan untuk pelajar yang telah terlanjur melakukan tawuran, mereka harus diberikan sosialisasi yang berhubungan dengan bahayanya tawuran dan agar mereka tidak melakukan tawuran lagi.
Jadi, dari pernyataan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya tawuran pelajar di Indonesia adalah karena telah tertanamnya didalam diri mereka bahwa kekerasan itu adalah hal biasa dilakukan, dan tentunya ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya tawuran ini, walaupun itu adalah hal sepele yang tak sepatutnua di ributkan dan juga lemahnya kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini.
Dan solusi yang tepat untuk masalah ini adalah dengan bekerja samanya antara orangtua, sekolah dan pemerintah dalam memberikan penyuluhan kepada para pelajar betapa buruknya tawuran itu agar mereka tidak pernah mau sesekali melakukan tindakan tersebut.
[1] Tugas menulis artikel kelas XI semester I pembelajaran Bahasa Indonesia
[2] Siswa SMAN 2 Sekayu XI IPA 3